Membaca Kartini

Kartini dan emansipasi, dua kata yang sulit dipisahkan. Di balik riwayat Kartini dengan surat-suratnya yang terkenal dan riwayat gagasan emansipasi yang terinspirasi feminisme dari zaman Pencerahaan, segolongan aktivis feminisme mencoba membajak sejarah untuk kepentingan-kepentingan tertentu, atau menjunjung nilai-nilai tertentu. Dengan semangat “kesetaraan”, pendekatan legal formal dilakukan, guna mengubah apa yang mereka sebut sebagai “kontruksi sosial” yang merugikan kaum perempuan, atau sistem nilai yang cenderung patriarkis dan berorientasi pembedaaan gender.

Namun Kartini tidak dapat dipanggil kembali untuk sebuah konfirmasi. Isi benaknya tetap tersimpan dalam deretan tulisan sejarah yang ditorehkan orang lain dan tumpukan surat-suratnya kepada Ny. Abendanon, Nn. Stella Zeehandelaar, Ny Marie Ovink Soer, Ir. H. H. Van Kol, Ny. Nellie dan Dr Adriani, sederat lingkaran elit kolonial. Pertanyaan sederhana sebetulnya adalah : benarkah Kartini memperjuangkan emansipasi, atau hak-hak perempuan atau apapun namanya? Jikapun benar, apakah apa yang diperjuangkan Kartini sama dengan apa yang diperjuangkan kaum feminis hari ini hingga mereka merasa memiliki lisensi untuk mencatut nama Kartini?

Baca lebih lanjut

Hussein bin Ali (ra), Pahlawan atau Pemberontak?

Ritual itu mengerikan dan berdarah. Orang-orang turun ke jalan lalu mencambuk-cambuk diri mereka dengan cambuk pisau hingga tubuh mereka berlumuran darah. Pemandangan ini biasa dijumpai pada penganut Syi’ah setiap menyambut hari Assyura 10 Muharram. Setiap tahun mereka mengenang gugurnya seorang cucu Nabi saw, Hussein bin Ali ra, yang mereka anggap sebagai pahlawan.

Hussein tewas di Karbala, Irak, di tangan pasukan utusan gubernur Irak di bawah pemerintahan khalifah Yazid bin Muawiyah yang ia tentang. Bagi kaum Syi’ah, tewasnya Hussein adalah sebuah martirdom, kesyahidan. Lantas sejarah bergulir, peristiwa Karbala menjadi semacam pencetus oposisi Syi’ah terhadap rezim Sunni berabad-abad setelahnya. Sementara itu mitos-mitos terus berkembang, Yazid bin Muawiyah kerap digambar sebagai seorang diktator lalim, bengis dan suka mabuk. Bagaimana kita mendudukkan perkara ini?

Baca lebih lanjut

Kabut Wikileaks

”Perang informasi yang sesungguhnya baru saja dimulai. WikiLeaks medan tempurnya. Kalian semua tentaranya,” (John Perry Barlow, salah satu pendiri Electronic Frontier Foundation dan penulis lirik band Grateful Dead)

Si pembocor rahasia itu akhirnya dijebloskan ke penjara di Inggris. Kita tidak tahu apakah memang kasus pelecehan seksual itu betul-betul terbukti atau hanyalah semacam siasat jebak untuk menjeratnya, namun yang jelas ada kabar bahwa AS menyambut baik penangkapan pimpinan Wikileaks bernama Julian Assange itu.

AS memang terasa menjadi sasaran tembak utama dari Wikileaks, menyusul situs ini mebeberkan banyak dokumen rahasia AS tentang perang Irak, Afghanistan, hubungannya dengan pemimpin Arab, terorisme, siasat AS untuk menghegemoni Indonesia, dan seterusnya.

Baca lebih lanjut

QUR’AN DAN TEROR

Apa yang direncanakan oleh Pendeta Terry Jones pada peringatan 9 tahun runtuhnya WTC  11 September mendatang  adalah sebuah keluguan dengan logika yang terlalu simplistis. Menurutnya, para teroris itu terinspirasi oleh Al-Qur’an, karenanya kitab suci umat Islam itu mesti dibakar. Sesederhana itukah memutus rantai terorisme?

Jelas yang ia maksud sebagai “inspirasi terorisme” adalah ayat-ayat tentang jihad. Di sinilah pesan yang sebenarnya dari gagasan pembakaran Qur’an : serangan pemikiran dengan menyamakan jihad dengan terorisme, sebuah stigmatitasi yang klasik, sebetulnya. Serangan pemikiran inilah yang lebih memerlukan jawabannya ketimbang pembakaran Qur’an itu sendiri. Sebab, jika publik menerima pemahaman ini, bahwa jihad adalah terorisme, maka secara berlebihan dapat dikatakan bahwa pembakaran al-Qur’an menjadi masuk akal di mata publik.

Baca lebih lanjut

Ber-Islam Kaaffah, Bukan Kembali ke Zaman Unta

Saya pernah menemukan, di suatu perpustakaan, sebuah buku kecil-tebal yang sudah menguning. Di kovernya terpampang gambar seorang Arab berpakaian layaknya seorang mullah Iran—bergamis dan bersorban—sambil menenteng sebuah revolver AK-47 di bawah sebuah judul “Islam Militan”. Buku terjemahan ini memuat narasi tentang bahaya golongan Islam Militan bagi dunia yang demokratis ini. Salah satu ciri militan Islam menurut penulis buku ini adalah menganut “Totalitas Islam”.

Buku tersebut hanyalah representasi dari isu yang diusung dunia literasi Barat di saat di mana dunia diguncang sebuah perisitiwa besar pada dekade peralihan 70-80an, yakni revolusi kaum Mullah (ulama) di Iran. Namun, mengapa bersorban? Mengapa bersenjata? Ikonisasi kekerasan terhadap siapapun yang berpaham “Totalitas Islam” dimulai di sini. Seperti yang diutarakan dengan baik oleh Edward W. Said dalam bukunya “Penjungkirbalikan Dunia Islam”, Barat tidak adil dalam memandang Islam. Saat para mahasiswa Iran, setelah revolusi itu, menyandera beberapa wartawan AS, Gedung Putih langsung meng-setan-setankan—melakukan “setaniasasi” terhadap—Iran dan menganggap orang-orang Iran ini adalah orang-orang emosional karena membenci AS. Entah disadari atau tidak, AS lupa untuk bertanya mengapa mereka membenci AS.

Baca lebih lanjut

“Ahlul Islam wal Jama’ah”

Tempo hari saya membeli sebuah buku yang menarik perhatian saya karena judulnya yang menurut  saya provokatif, “Aku Bukan Salafi”. Benak saya bertanya-tanya, ini buku sebuah deklarasi anti-salafikah? Atau semacam diari kader sakit hati yang disepak keluar dari kumpulannya?

Pertanyaan saya tersebut segera mendapatkan jawabannya setelah kover buku itu memberitahu lewat tagline-nya,”kalau salafi adalah mencaci, bla..bla…maka saksikanlah bahwa aku bukan salafi”. Kira-kira begitu. Setelah membuka lembar demi lembar, rupa-rupanya penulisnya orang salafi juga. Yang bersangkutan menulis buku ini sebagai klarifikasi atas berbagai tuduhan dan stigma jelek yang kadung dilekatkan orang pada kelompok—sebenarnya mereka tidak mau disebut sebagai kelompok—salafi. Istilah kerennya, buku ini adalah “buku putih salafi”.

Baca lebih lanjut

Ini Tentang Harga Diri

Kita, hanya perlu bertanya pada diri sendiri: pantaskah kita bersalaman dengan utusan dari negeri yang tak peduli dengan nilai-nilai yang dianutnya sendiri: HAM, keadilan, kemerdekaan, kemanusiaan??

Barangkali kita sebagai orang Indonesia merasa mendapatkan figur dari sosok bernama Obama ini. Ia ramah, hitam dan pandai orasi. Kata-kata “dari Menteng ke Gedung Putih” memberikan sensasi kebesaran tersendiri bagi bangsa yang sekian lama kehilangan sosok yang dapat dianggap karismatik, berwibawa dan hebat, bangsa yang bertahun-tahun dicitrakan lemah SDM, korup dan terpuruk. Keberadaan Obama memantik kekaguman diri sendiri, “ternyata ‘orang Indonesia’ pun bisa jadi presiden negara adidaya.” Kita memang sedang haus figur Indonesia yang bisa dibanggakan, walaupun dia bukan benar-benar orang Indonesia.

Baca lebih lanjut

MENTAL DISORDER

Saya tidak tahu persis definisi dari istilah di atas. Namun saya ingat kapan pertama kali membaca istilah itu, yakni ketika saya membaca riwayat hidup novelis masyhur asal Jerman, Karl May. Ia menulis berjilid-jilid novel berlatar kawasan wild west Amerika Serikat zaman koboy. Setiap deskripsinya tentang alam Amerika ia sampaikan dengan sangat detil, membuat pembaca menduga bahwa lakon utamanya bahkan dia sendiri, atau at least ia pernah ke Amerika. Tetapi sebetulnya ia tidak pernah menginjak tanah Amerika sekali pun sampai wafatnya.

Karl May lalu didakwa menderita sejenis gangguan jiwa, yang membuat penderitanya berhalusinasi hebat. Penyakit jiwa semacam kejiwaan ganda ini lalu disebut oleh ahli kejiwaan sebagai mental disorder, kekacauan mental. Barangkali penyakit ini memang berkonotasi buruk. Namun baik psikiaternya, orang-orang yang menuduhnya sakit jiwa, atau orang yang menjebloskannya ke RSJ tidak pernah mencapai prestasi sehebat Karl May. Novel-novelnya yang inspiratif dan sarat muatan pesan moral itu masih dibaca bahkan seabad setelahnya.

Baca lebih lanjut

Orde Syariah

Ada sebuah anekdot tentang babi: “apa yang lebih haram dari babi?”, jawabnya, “babi yang mengandung anak babi.” Lanjutannya, “apa yang lebih haram dari itu?” jawabnya, “babi yang mengandung anak babi hasil perzinaan!” Sampai di situ tidak sampai ada yang berpikir bahwa jika seandainya babi itu menikah secara sah, maka kadar keharamannya berkurang, atau status anak babi itu menjadi bukan ‘anak haram’. Ya, babi tetap babi. Sesuai yang termaktub dalam Qur’an, babi (khinzir) hukumnya haram.

Hari-hari terakhir kita seperti mempermasalahkan anak babi. Di Mahkamah Konstitusi, smack down itu masih berlangsung antara kubu kita dan kubu liberal, mempermasalahkan undang-undang tentang penodaan agama. Pergulatan ini mengandung dua aktivitas dakwah sekaligus, yakni siraa’ul fikr (perang pemikiran) dan kifah siyasi (perjuangan politik). Siraa’ul fikr karena perang ini adalah perang tentang apa arti agama, kebebasan beragama, dan hubungan antara negara dan agama. Disebut kifah siyasi karena kita menantang mereka di arena kebijakan.

Baca lebih lanjut

Butuhkan Kita Pada Restorasi?—catatan untuk Nasdem

Deklarasi pembentukan ormas baru bernama Nasional Demokrat (Nasdem) beberapa waktu lalu menarik perhatian kita. Pertama, jarang-jarang ada deklarasi ormas yang berhaluan nasionalis. Selama ini, kata ’ormas’ lebih sering didampingkan dengan kata ’islam’. Kata itu sudah kadung lekat dengan nama-nama seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dsb.

Kedua, deklarasi yang ’wah’ layaknya deklarasi partai politik, beserta ’syiar’nya yang kencang di media-media massa, terutama Metro-TV. Ketiga, deklaratornya yang orang-orang ’hebat’ Tanah Air dari berbagai kalangan : wartawan, petinggi partai politik, akademisi. Ada Surya Paloh, Meutia Hafidz, Anis Baswedan, bahkan Megawati Soekarnoputri, walaupun petinggi Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, mengklaim Nasdem ini sebagai ’turunan Partai demokrat’—argumennya mudah kita cerna karena ada kemiripan nama antara keduanya.

Baca lebih lanjut